Saturday 10 June 2017

Materi Pelatihan Advokasi Hukum Forex


Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) Ditulis por Ninik Rahayu Rabu, 18 Agustus 2010 12:11 Fakta Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh jadi, pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah merupakan tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi. Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 UU Nomor 23 de janeiro de 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, danatau Penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen. Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan interno keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan keekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga. Terobosan hukum lain yang juga penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi aktor-aktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian , Yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Identif........................................................................................ Meskipun demikian, UU PKDRT mengisi jurang perlindungan hukum karena sampai saat ini undang-undang perburuhan di Indonésia tidak mencakup pekerja rumah tangga. Sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang mengalami kekerasan danatau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonésia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonésia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti. Catatan tahunan komnas perempuan sejak 2001 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 8211 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 8211 2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. Data kekerasan 3.169 até 2001, 5.163 a partir de 2002, 7.787 de 2003, 14.020 de 2004, 20.391 de 2005, 22.512 de 2006, de 25.522 de julho de 2007. Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan cukup tajam sejak 2004 (lebih dari 44 Dari tahun 2003) dan tahun-tahun berikut kenaikan angka KtP berkisar antara 9 - 30 (2005, 30 de maio de 2006), 9 de outubro de 2007 11. KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka KDRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara 2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005 (16.615 kasus). Dados Dari 25.522 kasus KtP pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus, dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111 pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, dados terbanyak berasal Dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur). Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khusunya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya, pada khususnya. Banyaknya kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban género perempuam korban yang seringkali harus ditanggung sendiri. Kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya, dab cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan 8217berdosa8217 jika menceritakan 8217kejelekan, keburukan, atau aib8217 suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya. Perempuan korban menggapai keadilan PA merupakan tempat rujukan terbanyak perempuan korban KDRT menggantungkan keadilan, meskipun fakta KDRT terbanyak tersembunyi dalam gugat cerai, para perempuan korban, sehingga pengungkapan kekerasannya sendiri tidak terungkap. Dengan demikian proses hukum KDRT itu sendiri tidak pernah berjalan. Kasus KDRT terbanyak terdapat di PA yakni 41 dias 20,380 kasus. Ini menunjukkan bahwa kasus gugat cerai di PA sebagian besar berkaitan dengan kasus KDRT. Di PA ada 6.212 kasus penelantaran ekonomi dan 1.582 kasus kekerasan psikis. Dari jumlah kasus KDRT ini ada 17.772 kasus terindentifikasi sebagai kekerasan terhadap isteri. Sayangnya, sekalipun pengadilan agama menjadi lembaga yang paling banyak menangani kasus KDRT (penelantaran ekonomi dalam perkara gugat cerai) tetapi mereka tidak menggunakan UU PKDRT sebagai acuan. Pemisahan antara perkara perdata (cerai) dan pidana (KDRT) dalam sistem peradilan Indonesia ternyata tidak menguntungkan kepentingan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan. Dalam rangka memberikan layanan bagi perempuan korban KDRT diantara beberapa lembaya yang terlibat yakni pertama, Women Crisis Center (WCC), atau organisasi perempuan penyedia layanan. Setidaknya ada delapan macam pelayanan yang biasa diberikan WCC adalah hotline, layanan konseling, grupo de apoio, pendampingan hukum, penyediaan rumah aman atau shelter, terapi psikologi, pelayanan medis, dan penguatan ekonomi. Kedua, Rumah Sakit. Peran aktif RS dalam memberikan layanan bagi perempuan korban kekerasan dikembangkan por exemplo Komnas Perempuan de RSCM Jakarta. Yang kemudian diadopsi diberbagai lembaga kesehatan lainnya. Ketiga, Unidade Pelayanan Perempuan dan Anak (UUPA) adalah tindak lanjut dann Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang dibentuk sejak tahun 1999 di Kepolisian, saat UUPA menjadi unidade tersendiri dalam struktur kepolisian berdasarkan Peraturan Kapolri No 102007. Dan terakhir keempat, Kejaksaan yang telah mengalokasikan Dana secara rutin untuk menangani kasus KtP. Lembaga ini juga mengintegrasikan jender sebagai salah satu bidang pendidikan yang diajarkan kepada aparatnya. Menuju Upaya Pemenuhan Hak-hak Korban Harus diakui kehadiran UU PKDRT membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak korban. Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah privat yang tidak seorang trocadilho diluir lingkungan rumah tangga dapat memasukinya. Lebih kurang empat tahun sejak pengesahannya pada tahun 2004, dalam perjalannnya UU ini masih ada beberapa pasal yang tidak menguntungkan bagi perempuan korban kekerasanm. PP No. 4 de 2006 tentang Pemulihan merupakan peraturan pelaksana dari UU ini, yang diharapkan mempermudah proses implementasi UU sebagaimana yang tertera dalam mandat UU ini. Selain itu, walapun UU ini dimaksudkan memberikan efek jera bagi pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda dirasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban bahkan lebih menguntungkan bila menggunakan ketentuan Hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban, untuk itu, perlu upaya strategis diluir diri korban guna mendukung dan memberikan perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus KDRT yang menimpanya. Komitmen Komnas Perempuan Sebagai Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang independen, sesuai mandatnya Komnas Perempuan memfokuskan diri pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan serta upaya menciptakan suasana kondusif bagi pemenuhan hak asasi perempuan, termasuk hak-hak perempuan korban kekerasan, yaitu hak Atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Untuk mewujutkan mandatnya kmnas perempuan bekerja dengan membentuk 4 sub komisi, yaitu sub komisi Reformasi Hukum, Sub Kom Pemulihan, Sukom Pemantauan e Sub Kom Litbang dan Pendidikan. Komnas Perempuan dalam menjalankan mandatnya bermitra kerja dengan institusi pemerintah, LSM, Organisasi sosial dan budaya, organização agama de PT di pusat maupun daerah, regional maupun internasional. Sub Kom Reformasi Hukum e Kebijakan pada periode 2007-2009 salah satu programa kerjanya menjalin hubungan dengan aparat penegak hukum dan organizasi kemasyakatan sipil (Penguatan Penagak HukumPPH). Hasil dari kerjasama ini telah terwujud dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) antara aparat penegak hukum dan para advokatpengacara. Pada bulan novembro de 2007, telah terselenggara Pelatihan bagi Hakim Peradilan Agama dengan materi KDRT. Pelatihan ini dimasudkan untuk mengembangkan bangunan pengetahuan tentang KDRT, tidak hanya yang diatur dalam hukum nasional (UU PKDRT), tetapi juga hukum Islam. Menangkap antusiasme permintaan dari para hakim PA dalam pelatihan tersebut diatas, agar ada buku Referensi bagi mereka tentang KDRT, maka Komnas Perempuan menyelenggarakan workshop untuk penyusunan materi buku. Buku Referensi ini telah dilaunching pada bulan Juli 2008 bersama Ketua Muda Urusan Lingkungan Agama MA-RI dan Dirjen Badan Peradilan Agama MA-RI. Keberadaan buku referensi ini nantinya diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang KDRT bagi hakim PA, sebagai tempat terakhir bagi kebanyakan perempuan korban menggapai keadilan dan mengungkap kebenaran. Kerja-kerja ini akan terus dilanjutkan dan dikembangkan dengan menggandeng kehakiman seperti pelatihan untuk para hakim pengadilan negeri tentang KDRT, SPPT bagi pendendo korban, pendataan kasus KDRT di kejaksaan, dan advokasi revisi KUHAP. Hal lain yang menjadi harapan besar bagi Komnas Perempuan sebagai upaya perlindungan terhadap korban yang belum maksimal diberikan oleh negara, adalah keberadaan LPSK. Dengan terpilihnya anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban usaha perindungan sebagaimana yang tertera dalam UU PKDRT yakni segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun Berdasarkan penetapan pengadilan dapat segera terwujud. Sehingga terjadi kerja-kerja sinergi dalam memenuhi hak-hak korban. Semoga. KUMPULAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSIMenanggapi begitu banyak isu-isu hangat yang bisa dikatakan isu-isu strategis d Fak. Farmasi Unhas, perlu adanya upaya advokasi dari lembaga mahasiswa. Advokasi dapat dikatakan suatu upaya yang dilakukan untuk merubah kebijakan yang ada. Kemafar (Keluarga Mahasiswa farmasi) sebagai wadah warga mahasiswa Farmasi mengdakan pelatihan advokasi dari hari jumat-Sabtu (18-19 juni 2010). Dengan tema 8221 membangun pola pikir kritis terhadap kebijakan publik8221 kegiatan ini pun menjadi ajang untuk mencetak orang mahsiswa yang mampu mengadvokasi masalah, terutama yang ada di Farmasi. Kegiatan yang bertempat di Gedung Aula MAN 2 Modelo Makassaar selayaknya dihadiri oleh banyak peserta, dikarenakan kegiatan ini Free bagi warga farmasi yang ingin ikut. Tapi toh juga tidak menambah minat warga untuk mengikuti pelatihan. Tercatat hanya sebanyak 10 orang yang menjadi peserta. Padahal banyak fasilitas yang sediakan oleitia panitia, seperti: Makanan, minuman, kamar tidur, kenyamanan selama materi. Dibuka secara resmi oley Presiden Bem Fak. Farmasi Unhas, di awali dengan materi pengenalan advokasi dan hukum, dilanjutkan materi perumusan isu-isu strategis, keberatan dan lobi, advokasi media, dan advokasi mahasiswa. Di akhir kegiatan chatice dibentuk tim yang diketuai por Zulfikar yang akan mengadvokasi kan masalah de Farmasi.

No comments:

Post a Comment